Series Fiksi Sejarah

 Shadha di Tanah Jabalia

Oleh Dini Rosyada Mahmud

*Chapter 1*

       

Sumber Foto: Gemini Google

 *Agustus 2023*

        Sinar mentari pagi menembus dari celah jendela ruang tamu, nenek Fatimah menyajikan kue lezat dan teh hangat yang tertata rapi di meja. Salah satunya kue Maamoul kesukaan cucunya Shadha, kue khas Palestina rasanya gurih dan tanpa pemanis buatan karena salah satu bahan utamanya menggunakan kurma. Nenek Fatimah terlihat senang dan berseri minggu pagi ini, cucu kesayangannya Shadha datang berkunjung ke rumahnya, Shadha merupakan cucunya paling kecil yang saat ini duduk di kelas 5 Sekolah Dasar, jarak rumah nenek Fatimah dan cucunya Shadha tidak terlalu jauh hanya 30 menit perjalanan. Shadha sering bermain di rumah neneknya ketika libur sekolah. 

        Shadha sudah datang sejak pagi, dia duduk di samping neneknya Fatimah bersantai di ruang tamu. Shadha tiba-tiba mengambil album foto keluarga yang menarik perhatiannya berada di rak ruang tamu, setelah membuka album foto keluarga pandangan mata Shadha tertuju pada foto hitam putih yang terlihat usang, Shadha sambil menunjuknya "Mengapa nenek berfoto sambil membawa barang-barang itu?". "Oh ini foto masa kecil nenek sewaktu pergi", nenek Fatimah menjawab Shadha. "Pergi kemana nek? Mengapa di foto seperti semuanya membawa tas nek?", Shadha bertanya dengan heran. 

        *Flashback* Neneknya mulai bercerita dan terkenang kembali 75 tahun yang lalu, saat umurnya masih 10 tahun. Kehidupannya yang penuh kedamaian bersama keluarganya di kota Haifa, sebuah daerah yang penuh dengan kenangan masa kecil neneknya di pesisir Laut Tengah, di kaki Gunung Karmel. Namun, lamunan kebahagiaan itu tidak lama buyar saat melihat sebuah foto masa kecilnya yang terpajang dalam album. Masa kecil yang seharusnya menyenangkan bagi nenek Fatimah dan 3 saudaranya digunakan untuk bermain seketika berubah seakan dunianya diselimuti awan medung kelabu. Beberapa hari ini nafasnya terasa tercekat, zionis memaksa penduduk membatasi ruang gerak. Terkepung beberapa hari di dalam rumah dengan terbatasnya persediaan makanan membuat nenek Fatimah dan 3 saudaranya harus berbagi sepiring, tidur pun tidak nyenyak karena melewati malam yang terasa mencekam. 

        Keesokan harinya keadaan semakin mencekam, suara teriakan dan rintihan minta tolong memekik di telinganya, "Dor.. Dor.. Dor..", suara tembakan dari laras panjang bagi siapa saja yang ditemui zionis di luar. "Duummm..", tiba-tiba ada suara ledakan yang terdengar keras. Ibu dari nenek Fatimah penasaran, dia mengintip dari jendela betapa mengejutkan ternyata suara ledakan bom itu berasal dari rumah tetangga mereka yang telah hancur menjadi reruntuhan diselimuti debu, semakin lama semakin dirasa tiada tempat aman bagi mereka untuk berlindung, semua terkepung dalam mimpi yang gelap ini. Orang tua nenek Fatimah segera mengemasi barang seadanya untuk meninggalkan kediaman mereka karena situasi yang semakin tidak kondusif, tubuh mungil neneknya saat itu turut membantu membawa tas berisi pakaiannya. Tempat yang dulunya teduh untuk merangkai cerita sehari-hari kini tergusur, entah kemana langkah kaki akan membawanya pergi.

Sumber Foto: Al Jazeera

       Nenek Fatimah tertatih berjalan puluhan kilometer bersama para pengungsi lainnya, langkah kaki terasa berat meninggalkan tanah airnya sendiri, perjalanan yang diselimuti kelaparan dan kehausan, serta ketakutan dari senapan angin zionis yang mengintai para pejalan kaki. Pilihan yang sulit antara memilih bertahan di tanah airnya namun diambang kematian atau terpaksa pergi mengungsi untuk mencari dan melindungi keluarga ke tempat yang aman. Terlihat beberapa orang tergeletak kaku bersimbah darah karena berusaha melawan dan mempertahankan tanah airnya dari tangan zionis. Pengusiran paksa dalam sejarah tanah Palestina yang dikenal dengan sebutan "Nakba", gelombang pengungsi Palestina karena pengusiran paksa tidak hanya terjadi pada tahun 1948, tapi perampasan wilayah tanah air mereka sudah melalui sejarah perjuangan yang panjang mulai dulu. Rakyat Palestina mengenang bagaimana perjuangan mereka mempertahankan tanah airnya, mereka memperingati setiap tanggal 15 Mei sebagai bencana besar perebutan paksa wilayah tanah airnya oleh zionis.

     Shadha mendengarkan neneknya bercerita merasa prihatin apa yang dilalui orang Palestina terdahulu memperjuangkan hak tanah airnya. Dia kembali bertanya, "Bagaimana kehidupan nenek setelah pengusiran?", Shadha memang masih kelas 5 Sekolah Dasar tapi dia anak yang cerdas dan rasa ingin tahunya tinggi. "Saat itu nenek dan keluarga pergi ke tempat pengungsian, kami mendirikan tenda seadanya beralaskan tikar diatas tanah, apabila datang hujan akan kebanjiran, datang musim dingin akan kedinginan, kehidupan yang sangat terbatas tapi kami tetap bersyukur dan percaya pertolongan Allah akan datang", "Ayo makan kuenya nak", nenek Fatimah menawarkan kue kepada Shadha karena melihat cucunya sangat antusias mendengarkan ceritanya sampai mengalihkan perhatian kue yang disajikan diatas meja. "Kue Maamoul bikinan nenek memang selalu enak", jawab Shadha sambil memakan kuenya. "Nanti akan nenek bawakan kue Maamoul untuk dibawa pulang", nenek Fatimah terlihat bahagia saat shadha menyukai kue buatannya.

Sumber Foto: Google Maps

        "Lalu bagaimana nenek bisa sampai kesini?", tanya Shadha kembali dengan rasa penasaran. "Demi Allah yang Maha Pemberi Pertolongan, setelah beberapa waktu kami bertahan di tempat pengungsian lalu memutuskan untuk pergi kembali untuk mencari tempat yang sekiranya aman, saat itu nenek berjalan mengikuti rombongan para pengungsi, di tengah perjalanan nenek bertanya kepada ibu kemana kita akan pergi, ibu menjawab bahwa dia punya kerabat yang masih hidup di Jabalia, kami akan pergi kesana. Kami berjalan ke arah utara melawati pesisir pantai kira-kira sejauh 90 Kilometer. Nenek dan pengungsi lainnya berjalan kaki selama 3 hari, medan yang kami lalui sungguh berat dengan menahan lapar dan haus. Tak sedikit pula yang syahid saat perjalanan mengungsi karena kelelahan. Siang kami bermandikan keringat beratap matahari, malam kami menggigil beratap bintang-bintang", tak terasa air mata nenek jatuh mengenang masa sulitnya saat kecil. Shadha memeluk neneknya turut iba mendengar ceritanya dan merasa bersalah, "Maaf ya nek, pertanyaan Shadha membuat nenek sedih dan teringat masa lalu". "Tidak apa-apa, nenek bersyukur kepada Allah masih bisa diberikan keselamatan dari kejadian itu". Meski neneknya sudah tua, tapi ingatannya tetap tajam mengenang masa itu dan fisiknya juga masih cukup kuat beraktivitas ringan di rumah.

        Nenek Fatimah membangunkan Shadha untuk sholat Ashar sebelum pulang, Shadha tertidur usai mereka asyik bercerita di ruang tamu. "Shadha bangun sudah sore nak, ayo sholat Ashar dulu", nenek sambil menepuk bahu Shadha agar terbangun. Shadha pun terbangun, lalu mengambil air wudhu untuk sholat. Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore, hari senin besok waktunya Shadha masuk sekolah jadi harus pulang ke rumahnya. "Ini nenek sudah bungkuskan kue Maamoul", nenek memberikan bingkisan kue Maamoul untuk dibawa cucunya Shadha pulang. "Terima kasih nek, aku pamit pulang dulu ya nek. Assalamu'alaikum", Shadha mencium tangan nenek untuk berpamitan pulang. "Wa'alaikumsalam, hati-hati di jalan nak". Shadha pulang dengan mengayuh sepeda karena jarak rumahnya dengan rumah nenek tidak terlalu jauh. 

        Nenek membereskan makanan dan minuman yang ada di ruang tamu. Nenek juga mengambil album foto yang tadi dibuka cucunya Shadha masih berada di kursi ruang tamu untuk ditaruh kembali pada rak buku. Namun, sebuah lembar surat yang sudah usang terjatuh dari sela album foto mengenai kakinya, ketika nenek mengambilnya ternyata sebuah lembar surat dari sahabat masa kecilnya bernama Hafsah. Lembar surat yang ditulis Hafsah untuk nenek Fatimah saat berulang tahun masih nenek Fatimah simpan. Dulu mereka akrab bermain dan belajar bersama, namun keadaan harus membuatnya terpisah tanpa mengucapkan kalimat terakhir. Saat berada di kamp pengungsian, nenek Fatimah berusaha mencari Hafsah dan keluarganya, namun usahanya nihil, dia tidak pernah bertemu lagi, nenek Fatimah juga tidak pernah mendapatkan kabar lagi dari sahabatnya Hafsah. Saat usianya telah senja, nenek Fatimah tetap merindukan sahabatnya Hafsah. "Hafsah bagaimana kabarmu sekarang, semoga Allah selalu menjagamu di manapun", ucap nenek Fatimah sambil menyeka air matanya yang jatuh.

Sumber Foto: Gemini Google

*Bersambung di Chapter 2.



        


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi

Sastra Dini (TraDi)